Allah Oriented vs. Study Oriented

 

Ceritanya saya lagi jenuh dengan semua ini(?). Maksudnya, saya sedang jenuh dengan segala hal tentang laporan, responsi, tugas pendahuluan, dan lain sebagainya. Saya juga muak melihat semua kesibukan-kesibukan ini, seakan tiada habisnya. Tiba-tiba saya berpikir (saya memang suka sekali berpikir tiba-tiba >.<), kenapa.... kenapa ya orang-orang selalu panic to the max kalo sudah menyangkut urusan kuliah. Ya, okelah, saya juga kadang-kadang panik. Tapi yang saya bicarakan disini, orang-orang memandang tugas kuliah sebagai sesuatu yang maha penting dalam hidupnya. Seakan tidak ada lagi kepentingan diatasnya. Apa tuh istilahnya? Study-oriented? Iya... itu. Yang kadang bikin ngeri, adalah mereka yang rela meninggalkan waktu shalat demi datang kuliah tepat waktu, soalnya takut di-alpa sama dosennya yang killer. Ada juga yang rela melakukan maksiat (tapi suka nggak sadar kalo itu maksiat), demi melakukan perintah sang senior yang terhormat. Rela disuruh ini-itu tanpa menyaring apakah Allah ridho sama perintah senior itu atau nggak. Hiiii ngeriiiii >,< (sok unyu) 

Mungkin yang jadi masalah adalah tentang orientasi hidup kali, ya. Tentu saja, orang-orang yang memiliki orientasi hidup berbeda pasti akan menjalani kehidupannya dengan cara yang berbeda pula. Ibarat mau naik angkot, jika orientasi (tujuan) kita adalah pasar sentral Makassar, maka naiklah angkot a.k.a. pete-pete jurusan sentral, bukannya naik pete-pete jurusan Limbung. Nggak nyambung blas. Sama saja dengan kehidupan ini. Jika orientasi (tujuan) hidupnya adalah mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan, ketentraman, keamanan, ke.....(apa lagi?) menyangkut kehidupannya di dunia, maka ia akan menempuh segala cara untuk mendapatkan tujuannya itu. Segala cara. Terus, kalo nggak bisa, panik lagi, deh. 

Maka penting bagi kita untuk segera berpikir secara jernih, apa yang sebenarnya kita cari dari hidup yang tidak lama ini. Jika yang kita kejar adalah rentetan huruf A di atas secarik kertas, betapa ruginya kita. Jika yang kita kejar hanyalah barisan angka 4,00 di atas selembar ijazah nanti, betapa kerdilnya tujuan hidup kita, padahal hidup ini cuma sekali dan akan kekal pertanggungjawabannya. 

Oke, saya mengakui dengan sepenuh hati bahwa saya juga mengharapkan, sangat-sangat-sangat mengharapkan prestasi gemilang di bidang akademik. Itu kan juga bagian dari amanah orang tua terhadap saya. Tapi, ingatlah bahwa ada yang lebih kekal daripada semua itu. Prestasi akademik, gelar juara, jabatan, kedudukan, meskipun nantinya akan kita raih, pasti mereka semua akan meninggalkan kita. Tapi, amalan-amalan kita di dunia--ketaatan kita pada perintah Allah dan RasulNya, itulah yang akan menjadi teman setia kita hingga hari akhir nanti. Itulah bekal yang kekal, yang menentukan bagaimana kita akan menjalani kehidupan akhirat kita. 

Lantas, mengapa kita begitu terobsesi dengan segala hal yang jelas-jelas akan meninggalkan kita dibanding dengan hal-hal yang justru akan menjadi bekal kita selamanya? 

Ngomong-ngomong soal obsesi, ada sebuah hadits yang selalu saya baca setiap hari sebagai pengingat diri: 

"Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai obsesinya, maka Allah akan menjadikan hatinya kaya, melancarkan segala urusannya, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Dan barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai obsesinya, maka Allah akan menjadikannya miskin, mengacaukan semua urusannnya, dan dunia datang kepadanya sebatas apa yang ditakdirkan untuknya." (HR. Ibnu Majah)

Wallahu a'lam bish shawab. 

Gowa, 11/14/2014. 7.27 pm
Jangan kalah sama tugas, Indi!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Forget? No. JUST FORGIVE!

Bersyukur masih bisa bersyukur.

Space