Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2016

Hidup ini singkat, sebentar lagi mati.

Gambar
Tadi pagi, setelah membaca beberapa lembar buku wajib yang harus saya selesaikan minggu ini, saya mengaktifkan modem. Seperti biasa, kalau sudah terhubung wi-fi, handphone saya berdering tidak karuan karena banyaknya pemberitahuan yang masuk. Di antara notification yang silih berganti di notif bar, ada pesan di grup WA, dari Kak Dio. Isinya: "Innalillahi wa innailahi roojiun........" Karena hanya membaca melalui notif bar, jadi tidak terbaca keseluruhan isi pesan. Saya tidak langsung membuka WA. Saya termenung sesaat... Teringat seorang kakak yang beberapa hari belakangan memang sedang dirawat di rumah sakit, dan menurut kabar kondisinya semakin memburuk dari waktu ke waktu. Saya memang tidak mengenalnya. Tapi, fakta bahwa kami berada pada barisan perjuangan yang sama, tetap saja membuat saya sedih mendengarkan kabarnya. Bahkan, kata mereka yang telah menjenguk, beliau berada dalam kondisi koma hingga tidak bisa menyadari kehadiran orang-orang di sekelilingnya... Ya Allah

Tentang kuliah, dan sesuatu yang seharusnya kusyukuri

Tersembunyi dalam sebuah folder, saya juga lupa kapan menulisnya. Tapi saya suka tulisan saya yang ini. ^^ ***   Saya bersyukur bisa kuliah. Alhamdulillah ‘alaa kulli hal. Bukan karena saya bisa mengecap pendidikan di jenjang yang lebih prestisius, atau karena saya bisa meraih gelar akademik yang kelak akan saya banggakan. Namun, lebih daripada itu semua, di sini saya belajar tentang kehidupan. Saya mendapatkan banyak pelajaran hidup yang mungkin tidak akan saya dapatkan jika hanya di ruang kuliah saja. Di sini, saya belajar lebih banyak. Saya bertemu dengan banyak orang dan menyaksikan banyak hal. Saya bertemu dengan orang-orang dengan berbagai macam karakter, latar belakang, dan kehebatan yang dimilikinya. Saya sadar, sesingkat apapun pertemuan saya dengan seseorang, akan selalu terselip hikmah yang menjadi alasanNya. Seburuk apapun orang tersebut. Semuanya tampak seperti kepingan-kepingan ilmu yang terserak. Tinggal kita saja, bagaimana kita akan menyusunnya.

Benarkah Dakwah adalah Poros Hidupku?

Aku tersentak. Waktu seakan terhenti. Bibir, bahkan pikiranku seolah kehabisan kata untuk menggambarkan apa yang sedang kurasakan. Entah mendapatkan pikiran dari mana, tiba-tiba saja perasaan itu muncul seperti sengaja datang untuk menampar dan membangunkan diri yang sedang lalai. "Kamu kan, anggota lembaga dakwah. Kok malas berdakwah?" Huaaa... Rasanya seperti disambar petir. Teguran tadi bukan datang dari musyrifahku, bukan pula dari teman-temanku. Teguran itu datang dari diriku sendiri. Ya... Seperti mendapatkan bisikan dari Allah dalam lamunan. Dan entah bagaimana menjawabnya... "Dakwah adalah poros hidupku..." Kalimat ini sering sekali terdengar bahkan terucap oleh (seseorang yang MENGAKU) pengemban dakwah sepertiku. Menjanjikan kepada seluruh dunia bahwa setiap hembusan nafas ini hanyalah untuk dakwah Islam. Bersaksi kepadaNya untuk selalu bersedia 'menolong' agamaNya. Tapi, realisasinya manaaa? Astagfirullah aladzim... Setiap pagi berangkat

Future Mom

Suatu hari nanti, kau akan menjadi seorang ibu. Ibu dari anak-anak yang kelak kau dambakan akan menjadi syafaatmu dihadapanNya. Lalu apa yang telah engkau persiapkan? Ingatlah... Tujuanmu Allah. Matangkan dirimu, dalam berpikir dan bertindak. Penuhi kepalamu dengan pengetahuan dan tsaqofah Islam. Jadikan syakhsiyah Islam itu melekat di dalam dirimu. Contohlah para ibu-ibu luar biasa yang telah berhasil mendidik dan membentuk anak mereka sehingga menjadi 'emas' di masanya... Dan, yang tak kalah penting... Hei, kau akan menjadi ibu dari anak-anak yang hidup di era super millenium. Artinya? Ya, kau harus siap untuk itu. Selain mematangkan diri dengan tsaqofah Islam, tentu kau juga harus menjejali kepalamu dengan pengetahuan-pengetahuan modern demi menyesuaikan diri dengan era kehidupan masa depan, dan mempersiapkan senjata untuk melawan gempurannya. Kau harus menjadi master dalam segala ilmu. Mengapa tidak? Bukankah kau ingin menjadi seorang ibu dari generasi penakluk per