Seperti Ini Etika Berdebat dalam Islam


Debat (al-jadal/al-jidâl) identik dengan dialog/diskusi (at-tahâwur). Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Allah mendengar soal jawab antara kalian berdua. (QS al-Mujadalah [58]: 1). 

Dalam ayat ini Allah menyebut debat dengan istilah tahâwur, artinya berdiskusi/berdialog. Debat pada dasarnya adalah menyampaikan hujah atau yang diduga sebagai hujah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya adalah untuk membela pendapatnya atau mazhabnya, membatalkan hujah lawannya, serta mengalihkannya pada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.




Debat adalah perkara yang diperintahkan syariat untuk menyatakan yang haq dan membatalkan yang batil. Dalilnya antara lain adalah firman Allah Swt. berikut:
Serulah (manusia) pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. (QS an-Nahl [15]: 125).

Rasulullah saw. juga sering mendebat kaum musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengemban dakwah akan senantiasa menyerukan Islam, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan memerangi pemikiran yang sesat. Karena debat telah ditentukan sebagai cara (uslûb) untuk melakukan semua aktivitas tersebut maka debat menjadi suatu kewajiban, sesuai dengan kaidah:

Selama kewajiban tidak sempurna kecuali dengan suatu perkara maka perkara tersebut menjadi wajib.

Debat yang Tercela

Namun demikian, ada satu jenis perdebatan yang dicela oleh syariat hingga bahkan dianggap sebagai bentuk kekufuran, seperti mendebat Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah Swt. berfirman:

Mereka berdebat tentang Allah, sementara Dia-lah Tuhan Yang Mahakeras siksa-Nya. (QS ar-Ra’du [13]: 1).

Tidak ada yang memperdebatkan ayat-ayat Allah kecuali orang-orang kafir. (QS al-Ghafir [44]: 4).

Berdebat tentang al-Quran untuk menetapkan bahwa al-Quran itu bukan mukjizat atau bukan berasal dari Allah juga merupakan suatu kekufuran. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Abu Hurairah, pernah bersabda:

Berdebat tentang al-Quran adalah kekufuran. (HR Ahmad).

Antara Debat dan Syagab

Debat yang diperintahkan syariat dapat dilakukan dengan didasarkan pada hujah (dalil) atau yang diduga sebagai dalil (syubhah dalîl). Di luar itu dinamakan syagab (penyimpangan) atau takhlîth (pencampuradukan yang haq dengan yang batil).

Syubhah adalah sesuatu yang diduga oleh suatu mazhab sebagai suatu kebenaran, padahal bukan. Ini adalah definisi Ibnu Aqil. Sedangkan syagab diartikan oleh Ibnu Hazm dengan tindakan menyimpangkan kebenaran dengan hujah yang batil, dengan menggunakan premis-premis yang rusak yang akan menggiring orang pada kebatilan; disebut juga safsathah. Ibnu Aqil berkata, “Siapa saja yang suka menempuh metodologi ahli ilmu, maka ia hanya dibenarkan berbicara dengan hujah (dalil) atau syubhah dalîl. Sedangkan syagab merupakan pencampuradukan yang dilakukan oleh ahli debat.”

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa syagab adalah berdebat tanpa menggunakan dalil atau syubhah dalîl.

Etika Debat
Di antara etika dan aturan berdebat yang telah diwasiatkan oleh para ulama—dengan sebagian tambahan—adalah:
  • Mengedepankan ketakwaan kepada Allah; bermaksud ber-taqarrub kepada Allah dan mencari ridha-Nya dengan menjalankan perintah-Nya.
  • Diniatkan untuk menyatakan yang haq dan membatalkan yang batil, bukan karena ingin mengalahkan lawan. Imam Asy-Syafi‘i berkata, “Aku tidak berbicara kepada seorang pun kecuali aku sangat suka jika ia mendapatkan taufik, berkata benar, dan diberi pertolongan. Ia akan mendapatkan perhatian dan pemeliharaan dari Allah. Aku tidak berbicara kepada seorang pun selamanya kecuali aku tidak memperhatikan apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisannya.” Ibnu Aqil berkata, “Setiap perdebatan yang tujuannya bukan untuk membela kebenaran adalah kebinasaan bagi pelakunya.”
  • Tidak dimaksudkan untuk mencari kemegahan, kedudukan, meraih dukungan, berselisih, dan ingin dilihat.
  • Diniatkan untuk memberikan loyalitas kepada Allah dan pada agama-Nya serta nasihat kepada lawan debatnya. Sebab, kata Nabi saw., “Agama adalah nasihat (Ad-Dîn nashîhah).”
  • Diawali dengan memuji Allah Swt. dan bersyukur kepada-Nya serta membaca shalawat kepada Nabi saw.
  • Memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar diberi taufik atas perkara yang diridhai-Nya.
  • Menggunakan metode yang baik serta dengan pandangan dan kondisi yang baik. Ibnu Abas menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:  Petunjuk yang baik, cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu dari dua puluh lima bagian kenabian. (HR Ahmad dan Abu Dawud). Ibnu Hajar berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya petunjuk yang baik pada akhir zaman lebih baik daripada sebagian amal.”
  • Singkat dan padat dalam berbicara, yaitu berbicara sedikit tetapi sarat makna, serta tepat sesuai dengan sasaran. Terlalu banyak bicara akan mengakibatkan kebosanan; juga berpeluang menimbulkan kesalahan, campur-aduk, dan ketergelinciran.
  • Bersepakat dengan lawan debatnya atas sumber yang akan menjadi rujukan keduanya. Jika lawan debat adalah orang kafir maka rujukannya semata-mata akal. Jika lawan debat adalah Muslim maka rujukannya adalah akal dan naql. Akal menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat rasional. Naql menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat syar‘i. Allah Swt. berfirman: Jika kalian berselisih tentang suatu perkara, kembalikanlah perselisihan itu kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (As-Sunnah). (QS an-Nisa [4]: 59). Orang kafir tidak boleh didebat dalam perkara cabang syariat, karena ia tidak mengiman pokok syariat. Sebagai contoh: orang kafir tidak boleh didebat dalam masalah poligami lebih dari empat, kesaksian wanita, jizyah, warisan, keharaman khamr, dan yang lainnya. Berdiskusi dengan orang kafir harus dibatasi pada pokok-pokok agama (akidah/keimanan) yang dalilnya bersifat rasional. Sebab, tujuan dari diskusi adalah mengalihkannya dari kebatilan menuju haq, dan dari kesesatan menuju petunjuk. Hal ini tidak bisa diwujudkan kecuali dengan mengalihkannya dari kekufuran menuju keimanan terlebih dulu.                           
  • Tidak mengeraskan suara kecuali dengan kadar yang dibutuhkan untuk bisa didengar oleh orang yang ada disekitarnya; juga tidak boleh berteriak di hadapan lawan diskusi. Pernah diriwayatkan, ada seorang lelaki dari Bani Hasyim yang bernama Abdushshamad. Ia berbicara di hadapan Khalifah al-Ma’mun dengan mengeraskan suaranya. Al-Ma’mun kemudian berkata, “Abdushshamad, janganlah engkau mengeraskan suaramu. Sebab, kebenaran terdapat pada yang paling tepat, bukan yang paling keras. Khatib yang sebenarnya ada pada seorang fakih, bukan yang pura-pura fakih.
  • Tidak boleh meremehkan dan menghinakan keberadaan lawan debat; bersabar atas penyimpangan lawan debat; berusaha memaklumi dan memaafkan kesalahannya, kecuali orang itu adalah orang yang pandir—kita harus menjauhkan diri dari berdiskusi dan berdebat dengannya.
  • Menjauhi tindakan bodoh (al-hiddah) dan berbuat sesuatu yang membosankan.
  • Jika berdebat dengan orang yang lebih banyak pengetahuannya maka janganlah mengatakan, “Anda salah,” atau, “Pendapat Anda keliru.” Akan tetapi, katakanlah, “Bagaimana pandangan Anda jika ada orang yang berpendapat… (sebutkan pendapatnya)?” (dengan menggunakan redaksi orang yang meminta petunjuk), atau katakanlah, “Bukankah yang benar itu begini (sebutkan yang dimaksud)?”
  • Berusaha memikirkan dan memahami perkara yang disampaikan oleh lawan debat agar bisa membantahnya dengan mudah. Tidak boleh cepat-cepat berbicara sebelum lawan selesai berbicara. Ibnu Wahab berkata, “Aku pernah mendengar Imam Malik berkata, ’Tidak ada kebaikan dalam jawaban sebelum dipahami masalahnya terlebih dulu.’” Bukan termasuk etika yang baik jika seseorang memutuskan pembicaraan lawannya. Adapun jika lawan debat adalah orang yang berdebat karena ingin berselisih, keras kepala, banyak membicarakan yang tidak bermanfaat maka yang menjadi sikap asal adalah tidak berdiskusi dengannya—jika semua sifat itu memang telah nyata diketahui ada pada dirinya. Apabila ia baru mengetahui sifat-sifat tersebut di tengah-tengah diskusi maka ia harus menasihatinya. Apabila ia tidak bisa menjaga diri maka putuskanlah pembicaraan dengannya.
  • Tidak berpaling kepada orang-orang yang hadir di majelis karena meremehkan lawan debatnya, baik orang-orang itu berbeda pendapat atau bersepakat dengannya. Jika lawan debat melakukan hal itu maka harus dinasihati. Apabila tidak mau menghentikannya maka hentikanlah diskusi ini.
  • Tidak boleh berdebat dengan merasa hebat dan takjub dengan pendapatnya, karena orang yang ujub tidak akan menerima satu pendapat pun dari orang lain.
  • Tidak boleh berdebat di tempat-tempat yang dikhawatirkan, seperti berdiskusi di tempat terbuka dan di tempat-tempat umum, kecuali jika ia merasa tenteram dengan agamanya; tidak takut karena Allah terhadap caci-maki orang yang mencaci; siap menanggung risiko dari pembicaraannya, baik berupa penahanan hingga pembunuhan. Tidak berdiskusi di tempat penguasa yang dikhawatirkan akan membahayakan dirinya. Jika tidak bisa meneguhkan dirinya bersama Hamzah (tidak mampu mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim) maka diam adalah lebih utama. Dalam kondisi ini kita harus mengingat kembali bagaimana sikap para ulama terdahulu semisal Imam Ahmad dan Imam Malik; juga sikap para ulama masa kini seperti para ulama yang mendebat Muammar Qadafi ketika mengingkari Sunnah.
  • Tidak boleh berdebat dengan orang yang tidak disukai, baik kebencian ini datang dari dirinya atau datang dari lawannya.
  • Tidak boleh bermaksud ingin mengalahkan lawan diskusi dalam forum. Tidak berbicara panjang lebar, khususnya dalam perkara yang sudah diketahui oleh lawan.
  • Tidak boleh berdiskusi dengan orang yang meremehkan ilmu dan ahlinya atau di hadapan orang-orang yang pandir yang meremehkan diskusi dan orang-orang yang sedang berdiskusi. Imam Malik berkata, “Termasuk menghinakan dan meremehkan ilmu jika seseorang membicarakan ilmu di hadapan orang yang tidak menaati ilmu.”
  • Tidak boleh keras kepala dengan tidak menerima kebenaran ketika kebenaran itu tampak pada lawannya. Sebab, kembali pada kebenaran adalah lebih baik daripada terus-menerus dalam kebatilan; juga supaya termasuk ke dalam golongan orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling benar.
  • Tidak boleh mengacaukan jawaban, yaitu dengan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan, seperti jika seseorang bertanya, “Apakah Arab Saudi itu Negara Islam?” kita kemudian menjawab, “Peradilan di sana islami.” Jawaban ini adalah mughâlathah, artinya kacau atau tidak sesuai dengan pertanyaan. Jawaban yang seharusnya adalah mengatakan: benar, tidak, atau tidak tahu. Jawaban manapun dari ketiga jawaban ini—terlepas benar atau salah—adalah termasuk jawaban yang muthâbiqah (sesuai dengan pertanyaan).
Itulah beberapa etika yang harus diperhatikan ketika kita berdialog atau berdebat dengan pihak lain. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [ht/visimuslim.com]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersyukur masih bisa bersyukur.

Forget? No. JUST FORGIVE!

Space