Air Mata Bau Bangkai

Oleh: Andhika Putra Dwijayanto

Apa yang biasa dilakukan anak-anak kelas 3 sebelum UN?

Biasanya sih, di beberapa sekolah, ada tradisi untuk melakukan ‘istighasah’. Tujuannya supaya pelaksanaan UN siswa dilancarkan, lulus semua, dan—mungkin—kalau bisa nilainya pada bagus. Entah biar sekolah memenuhi syarat akreditasi atau biar nggak malu atau gimana, aku nggak ngerti. Di sisi lain, sebagian besar siswa—kalau bukan hampir semuanya—tiba-tiba jadi shalih mendadak. Aslinya shalat lima waktu aja malesnya minta ampun, sekarang tahajud aja dijalanin. Dulunya biasa bikin ortu gondok, sekarang nangis-nangis minta maaf. Dulu hobi banget nge-bully adik kelas, sekarang pada minta maaf dan minta didoakan. Tipikal. Dan ini selalu terjadi tiap tahun.

Tapi apa berikutnya?

Adalah sebuah lelucon, ketika setelah acara istighasah, lalu pihak sekolah mengumpulkan para siswa untuk melakukan ‘koordinasi kecurangan’. Para siswa disampaikan info-info tentang tindak kecurangan berupa kunci jawaban dan sejenisnya. Termasuk juga yang dilakukan siswa. Habis istighasah, lalu nyari jaringan di internet atau teman-teman sekolah lain, dengan tujuan satu: kunci jawaban UN.
 
Adalah sebuah lelucon, ketika seorang siswa yang tiba-tiba rajin shalat tepat waktu, tambah shalat sunnah nafilah rutin, ikut merancang skenario bareng teman-temannya untuk bekerjasama pas UN. Mereka pasti tahu kinerja pengawas yang nggak bakal sungguh-sungguh mengawasi, dan mereka memanfaatkan hal itu.
 

Dengan kata lain, di satu sisi mereka berusaha mendekatkan diri pada Allah, supaya Allah memudahkan perjuangan mereka di UN, tapi di sisi lain mereka juga mengundang amarah Allah, dengan berusaha curang. Apalagi kalau dilakukan sekolah, atau siswa yang bersekolah di sekolah yang mengklaim dirinya berbasis imtaq.

Bingung?

Nyatanya, fenomena kecurangan ini sudah jadi makanan tahunan tiap pelaksanaan UN. Memang, sih, UN sendiri adalah sistem teknis yang diperlakukan secara gagal. Gagal, karena UN diletakkan sebagai standar kelulusan, bukan sebagai indikator umum. Padahal UN sama sekali nggak komprehensif dan bisa dibilang—secara ekstrim—nggak jelas. sehingga kalau jadi standar kelulusan, sebenarnya jauh dari kata layak. Dan hal ini bikin para civitas akademika pada stres, nggak siswanya nggak gurunya. Sama-sama pusing. Rasa takut nggak lulus, kuatir akreditasi jatuh—yang mungkin berdampak masukan dana dari pemerintah jadi turun, diiringi pendidikan mental yang gagal dan visi pendidikan yang amburadul nggak tahu arahnya kemana, gimana nggak bikin peluang terjadinya kecurangan makin gede? Para siswa yang dituntut lulus, sementara secara kualitas pendidikan nggak merata, memperbesar peluang mereka buat bertindak nggak jujur. Para siswa kelas 3 SMA pasti merasakannya.

Persoalan sistem pendidikan yang gagal ini rasanya sudah jelas. Di topik lain, aku pernah membahas soal para siswa yang di-tuning jadi bermental robot pelayan kapitalis, yang isi kepalanya cuma nyari kerja dan nyari kerja, masa bodoh dengan pengabdian ilmu. Masalah arah pendidikan mau dibawa kemana, juga nggak jelas. Memisahkan pengajaran agama dengan pengajaran sains secara umum, dan pemaparan teori-teori tanpa dilandasi dengan pemahaman kuat akan akidah, cuma membentuk para siswa jadi orang-orang bermental haus nilai dan kering ruhnya. Tahu hasilnya siapa? Anggota DPR, politisi, menteri, dan sebagainya yang nggak pernah memperbaiki persoalan negeri, malah bikin jadi tambah rumit.

Dan sistem pendidikan gagal ini pula yang bikin para siswa jadi hobi menguraikan air mata bau bangkai. Ya, bau bangkai. Seolah-olah air mata yang diteteskan saat istighasah, saat bersimpuh di hadapan Rabb-nya, saat bersujud di sajadah, itu semua cuma kebohongan belaka. Seolah berusaha menjilat kepada Tuhannya, seakan-akan Dia nggak tahu segala tindak kecurangan yang dilakukannya. Air mata yang bening, tapi aslinya berbau bangkai. Bangkai busuk.

Aku udah bilang sebelumnya, pendidikan mental para siswa gagal. Ya, para siswa dituntut hanya mengejar nilai (percayalah, aku mengalaminya sendiri pas SMA, utamanya oleh satu guru tertentu), masa bodoh dia paham atau nggak soal apa yang dipelajarinya. Dituntut mendapat nilai bagus di Fisika, tapi apa dia bisa mengaplikasikan rumus waktu paruh radioaktivitas untuk mengetahui aktivitas sisa unsur radioaktif yang ditemukannya, itu nggak jadi urusan. Dituntut bagus dalam Biologi, tapi apakah dia bisa memelihara keseimbangan ekosistem tertentu atau nggak, itu bukan urusan para guru. Pokoknya asal nilai bagus, selesai!

Tapi apa pernah penilaian itu menyangkut aspek kejujuran? Kompetitif? Religiusitas? Dan aspek-aspek mentalitas lainnya? Pernah diajarkan idealisme macam itu? yang ada semua cuma berakhir jadi penilaian nggak bermakna di bagian belakang raport.

Dalam aspek UN, masalah mental kejujuran ini vital banget. Terlepas bahwa aku sendiri memang nggak setuju adanya UN sebagai standar kelulusan, tapi toh UN juga nggak bener-bener mematikan. Ya, aku memang baca curhatan para siswa angkatan 2014 yang merasa tersiksa karena UN sekarang lebih mirip Olimpiade Sains ketimbang UN, tapi poinnya bukan disitu. UN nggak sebatas penilaian, UN juga menjadi ajang untuk menentukan siapa yang punya mental juara di tengah kebobrokan sistem pendidikan sekuler yang ada, serta jadi bahan evaluasi seberapa hancurnya sistem pendidikan sekuler yang diterapkan negeri ini.

Dan kalau melihat tindakan para siswa yang banyak melakukan kecurangan dengan menggunakan kunci jawaban bocor dan kerjasama, dan mungkin saja oleh pihak sekolah juga, indikasi bahwa pendidikan negeri ini memang rusak minta ampun memang sudah bisa terlihat jelas, sejelas matahari di permukaan Merkurius.

Akhirnya, para siswa bermental gagal inipun jadi siswa yang memiliki air mata bau bangkai. Segala ibadahnya pada Allah jadi nggak berarti karena sikap hipokrit yang mereka tunjukkan sendiri. Mengutip kalimat yang ada di banner di kampus, harga dirinya nggak lebih dari selembar kertas ujian. Rendah sekali.

Produk sistem pendidikan yang lahir dari akidah sekulerisme memang nggak pernah benar-benar menghasilkan orang yang beres. Ketika standar penilaian diserahkan pada nilai, ketika pendidikan dibentuk hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah bagi para kapitalis asing, ketika para siswa harus mengorbankan kejujuran hanya demi selembar kertas tanda kelulusan sampai rela meneteskan air mata bau bangkai, maka itulah bukti sistem pendidikan yang ada memang tidak layak dipertahankan dan harus diganti. Sistem pendidikan yang lahir dari pemikiran manusia yang lemah dan terbatas ini, sudah selayaknya diganti dengan sistem pendidikan yang lahir dari wahyu Allah, yang diterapkan dari sistem yang menerapkan wahyu Allah dalam setiap sendi kehidupan.[]
Kenapa jadi air mata buaya? (Ah sudahlah, sama-sama munafik. -az)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Forget? No. JUST FORGIVE!

Bersyukur masih bisa bersyukur.

Space