Segores Kisah Tentang Ujian Nasional



Aku tidak tahu apa yang akan kutulis. Aku hanya merasa, segumpal rasa tengah mengendap di hatiku, dan entah bagaimana terus menjalar menuju otakku. Terus menumpuk, meluap, meminta dituang untuk menjadi tulisan.

Aku tidak tahu apa yang akan kutulis. Yang aku tahu, aku hanya ingin menulis. Berlama-lama aku berpikir, melanjutkannya atau tidak. Sebab tetiba rasa takut yang tidak jelas menghampiri. Takut, jangan-jangan seseorang sedang menguntitku dan menanti waktu yang tepat untuk menyerang, aku tidak tahu. Aku hanya merasa takut, dan entah pada apa.

Aku tidak tahu apa yang akan kutulis. Yang jelas, jiwaku terasa sedang memberontak. Mungkin aku tampak baik-baik saja, tapi sejujurnya aku merasa sangat tidak nyaman. Aku tahu, apa yang sedang terjadi kini bukanlah suatu hal yang benar. Tapi aku tak berdaya untuk menghentikannya. Aku tak punya kuasa untuk melarangnya terjadi. Pun tak ada keberanian untuk mengucapkan sepatah katapun bahwa itu adalah kesalahan besar. Aku hanya bisa terus memohon ampun padaNya, mengharap kuasaNya untuk segera menghentikan kemunafikan yang terus terjadi, dan sekali lagi, memohon ampun atas kelemahan imanku.

Aku tidak tahu apa yang akan kutulis. Aku hanya ingin terus menulis… Sebab sebuah suara dari hatiku berkata, “Kau tak boleh berdiam diri, Indi! Kau harus melawan! Kau harus menulis!”

***

Sejujurnya, biar kukatakan bahwa kita semua adalah korban sistem. Sistem pendidikan yang lahir dari akidah sekularisme. Kita adalah produk dari pendidikan sekuler, pendidikan yang memisahkan pemahaman agama dan pemahaman sains. Kita tidak dituntut agar menguasai ilmu agar kelak kita bisa mengabdikannya pada umat, tidak. Kita malah dipersiapkan untuk menjadi ‘robot’ pemuas nafsu kapitalis. Yang ada dipikiran kita hanyalah bagaimana agar pendidikan yang kita tempuh ini nantinya bisa membantu kita mencari kerja, mencari uang. Mudahnya, pendidikan buat nyari duit. Lantas, kemana ilmu ini akan kita bagi? Oh, itu kembali pada masing-masing diri. Begitulah.

Aku juga berani mengatakan, bahwa pendidikan sekuler ini telah berhasil menjadikan kita manusia pemburu materi. Pelajaran agama malah dipojokkan, dipisahkan dari ilmu-ilmu lainnya. Yang ada, kini kita menjadi pemuja ilmu dunia dan tidak memiliki landasan akidah. Pintar urusan dunia, tapi dungu dalam hal posisinya sebagai makhluk Allah. Hasilnya? Lihat saja, kita menjadi siswa haus nilai, pemburu nilai. Apa-apa dilakukan untuk nilai. Masalah pemahaman dan pengabdian tentang ilmu itu sendiri? Oh, itu urusan belakangan. Jangan tanya soal akidah dan akhlak, wong kalau ditanya apa itu pandangan hidup, masih suka lupa. Jangan pula mempersoalkan tentang aspek-aspek mentalitas lainnya, seperti kejujuran, ketertiban, kerajinan, dan sebagainya. Itu semua toh hanyalah sebatas pelengkap di bagian belakang raport, tidak begitu diperhatikan.

Mau bukti tentang kerusakan pendidikan sekuler ini?

Lihat saja pelaksanaan ujian nasional kemarin. Aku tidak akan mengkritik pemerintah dalam hal komposisi soal yang katanya—dan aku juga setuju—, terlalu sulit. Bukan itu pembahasan yang paling penting. Yang terpenting adalah betapa UN kini menjadi ajang pembuktian dan persaingan, siapa yang paling hebat, siapa yang punya mental juara. Yang nilainya paling tinggi, itulah yang kualitas pendidikannya paling bagus. Begitulah kira-kira.

Memang, UN bukanlah satu-satunya syarat kelulusan. Pun, jika kita tidak lulus UN, kita tetap bisa melanjutkan kuliah. Tapi… UN sepertinya sudah menjadi ajang persaingan tiap sekolah, tiap kabupaten, bahkan tiap provinsi. Masing-masing kubu berusaha melakukan apapun untuk mendongkrak angka kelulusan. Entah untuk meraih akreditas setinggi-tingginya, membangun citra baik di masyarakat alias ingin memperkenalkan, “Ini lho, sekolah XYZ. Siswanya pinter semua, lulus UN 100%”, atau, “Ini lho, kabupaten PQR, sekolah-sekolahnya berkulitas tinggi,” atau supaya tidak malu dengan sekolah tetangga, aku tidak tahu. Yang jelas, segala cara dilakukan agar meraih tujuannya. Tidak peduli jalan yang ditempuh halal atau haram, asal semuanya bisa lulus! 

Akhirnya, para pihak sekolah dan juga siswa merasa dipusingkan. Bagaimana tidak, kita dituntut untuk menembus angka kelulusan yang tinggi, padahal kualitas pendidikan begitu-begitu saja, tidak merata. Maka jangan heran jika banyak ditemukan kecurangan-kecurangan, seperti bocornya soal UN, penggunaan kunci jawaban massal, dan kecurangan lain yang bisa jadi juga dibantu oleh pihak sekolah sendiri. Rusak? Memang!

Akibat lainnya adalah, ujian nasional telah membuat banyak siswa menjadi manusia-bermuka-dua, hipokrit, munafik. Banyak siswa yang kini semakin buta. Bukan buta secara fisik, melainkan buta hati. Tak bisa lagi membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Tak bisa lagi membedakan jalan kebenaran dan jalan maksiat. Hal ini kualami sendiri, sebab aku juga menjalani UN tahun ini.

Sudah bukan hal aneh lagi, jika menjelang ujian banyak siswa yang tiba-tiba jadi shalih/shalihah mendadak. Tiba-tiba shalatnya mendadak rajin, puasa senin-kamis, tahajjud dan dhuha tak pernah terlewatkan. Bahkan dalan setiap shalatnya tak jarang mereka menangis, menyadari kesalahan selama ini, memohon ampun padaNya, dan meminta dilancarkan segala urusannya, agar nanti bisa lulus dengan mudah.

Ada juga sekolah yang tiap tahun, sebelum ujian nasional, menggelar dzikir bersama. Disana mereka berdzikir, berdoa kepada Allah SWT agar dilancarkan ketika ujian nanti, dan syukur-syukur bisa dapat nilai tinggi. Dan lagi-lagi, air mata mereka tumpah ruah.

Tapi akhirnya air mata mereka hanya air mata buaya. Air mata bau bangkai, kalau kata tulisan ini. Mengapa? Sebab, setelah semua ibadah diatas mereka lakukan, setelah mereka menangis meraung-meraung meminta bantuan Allah, mereka malah berkumpul kembali untuk berkoordinasi dalam rangka berbuat curang. Mereka melupakan doa-doa mereka, ibadah mereka, air mata mereka yang tumpah di atas sajadah. Semuanya terlupakan, tidak lebih dari sekedar kebohongan. Penjilat. Ya, mau dikata apalagi. Habisnya, mereka berdoa agar dilancarkan dalam ujian, diridhoi jalannya. Tapi, bagaimana mungkin Allah meridhoi perbuatan yang jelas-jelas diharamkan? Mereka itu bodoh atau apa?!

Yang tidak kalah lucu, ada pula sekolah yang giat melaksanakan bakti sosial ke panti asuhan. Katanya supaya didoakan sama anak-anak panti itu. Aih, aku merasa geli menceritakannya. Betapa tidak, uang yang mereka gunakan untuk disumbangkan ke panti, sebagiannya malah disisihkan untuk …membeli kunci jawaban. Lucu sekali. Di satu sisi mereka melakukan kebaikan agar dimudahkan, tapi di sisi lain, di saat yang sama, mereka juga melakukan kecurangan, maksiat! Apa mereka bermaksud untuk menipu Allah?

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (Al Baqarah:9)

Ya, sistem pendidikan sekuler ini memang telah banyak merugikan kita. Mulai dari menjadikan kita siswa yang tidak punya akidah, pemburu nilai, hingga menjadikan kita makhluk hipokrit yang harga dirinya tidak lebih dari sekedar selembar kertas ujian. Semuanya sudah menjelaskan bukti kerusakan sistem pendidikan sekarang, yang mengindikasikan bahwa sistem ini tak layak untuk dipertahankan. Saatnya kita kembali pada aturan dari Sang Maha Pengatur, Allah SWT. Kembali pada aturan yang telah ditetapkanNya, yang sesuai dengan fitrah kita sebagai manusia, memuaskan akal dan menentramkan hati. Sehingga tak hanya memperbaiki sistem pendidikan saja, namun menyeluruh ke berbagai aspek kehidupan lain.

***

Anyway, setelah menjalani ujian nasional, aku belajar banyak hal. Kejujuran, berserah diri kepadaNya, dan juga takut kepadaNya dalam keadaan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Memang sulit untuk mempertahankan keyakinan di tengah keadaan yang rusak seperti ini, tapi aku bersyukur telah melewatinya. Meskipun aku harus rela menjadi ‘makhluk asing’ di sekolah, meskipun harus kehilangan satu per satu teman, tapi aku baik-baik saja. Lebih baik aku kehilangan teman—atau kehilangan nilai tinggi—, daripada harus menggadaikan akidahku dengan selembar kertas ujian. Lebih baik kehilangan sesuatu karena Allah, daripada kehilangan Allah karena sesuatu. Dan bukankah aku seharusnya berbahagia menjadi orang yang terasingkan? Yeay! ^^

Gowa, 18 April 2014.
6:11pm
Dua hari setelah ujian nasional.

Update:
Kenangan kecil tentang ujian nasional... :D
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersyukur masih bisa bersyukur.

Space

Forget? No. JUST FORGIVE!