Menyoal Do’a Berbuka Puasa Yang Berasal Dari Hadist Dhaif Yakni Hadist Mursal

Muslim Family Eating at the Dinner Table 
Oleh : Adi Victoria

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kiriman BC (broadcast) seputar hadist do’a berbuka puasa yang disebutkan sebagai hadist dhaif karena mursal. Sehingga tidak layak untuk diamalkan.

Dan pada kesempatkan itu pula saya langsung balas untuk menanggapinya, berikut saya jadikan sebagai sebuah catatan semoga bisa menjawab kegundahan kita perihal berdo’a dengan hadist tersebut. Catatan ini sudah saya sempurnakan dari balasan yang saya kirim ulang ke pengirim awal.
Bismillah.

Di broadcast tersebut tertulis :

“Allahuma laka shumtu wabika amantu wa ‘ala rizqika aftartu birahmatika ya arhama rohimin.”
Artinya : Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka, Maha besar Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang.

Hadist diatas diriwayatkan oleh Abu daud dalam sunannya no. 2358, dari Mu’adz bin Zuhroh. Muadz adalah seorang tabi’in. sehingga hadist ini MURSAL (di atas tabi’in terputus). HADIST MURSAL merupakan hadist dhaif karenan sebab sanadnya terputus. Syaikh al Albani pun berpendapat bahwasannya haidst ini dhaif [lihat Irwaul Gholil 4,38]
Adapun hadist yang sahih adalah :
“DzaHabazh zhuma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah”
yang artinya “Telah hilang rasa haus dan urat – urat telah basah serta pahala telah ditetapkan, insya Allah” (HR. Abu Dawud no. 2357, Ad Daraquthni III/1401 no. 2247, dan Al Hakim no. 1/422, hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Irwaa-ul Ghaliil no. 920)

Tanggapan :

Kita sepakat bahwa hadist diatas memang hadist dhaif dengan kedhaifan yang bersifat hadist mursal mursal, yakni kedhaifannya karena gugurnya para perawi hadist dalam sanad hadist tersebut, namun bukan cacat di perawi atau pada matannya. Hadist mursal sendiri masih diperdebatkan oleh para ‘ulama hadist ataupun ‘ulama ushul apakah boleh atau tidak dijadikan hujjah.

Berikut saya kutibkan penjelasan al ‘Allamah Asy Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab beliau Syakhsiyah Islam jilid I tentang HADIST MURSAL.

Hadits mursal adalah hadits yang gugur pada (jenjang) para sahabat, seperti (jika) tabi’in berkata: ‘Bersabda Rasulullah saw seperti ini’, atau ‘melakukan seperti ini’ atau ‘Seseorang melakukan di hadapan Rasul seperti ini’ Gambarannya adalah tabi’in telah berjumpa dengan sekelompok sahabat dan mengikuti jalsah (pengajian mereka), seperti ‘Ubaidillah bin ‘Ada bin al-Khiyar, Said bin Musaiyab dan orang-orang semisal mereka. Apabila berkata: ‘Bersabda Rasulullah saw’. Pendapat yang masyhur itu disamaratakan antara para tabi’in seluruhnya. Maksudnya hadits yang diriwayatkan oleh para tabi’in dari Nabi tanpa menyebutkan para sahabat, tanpa perbedaan antara tabi’in kecil dengan tabi’in besar, karena pendapat yang masyhur adalah menyamar atakan para tabi’in. Terdapat perbedaan pendapat di kalang an ulama hadits dan ulama ushul serta para imam lain dalam pengambilan hujjah menggunakan hadits mursal. 

Di antara mereka ada yang tidak mengambil hujjah dengan hadits mursal dan menganggapnya seperti hadits munqathi’, yang ditolak keabsahannya. Ada pula diantara mereka yang menjadikannya sebagai hujjah. Orang-orang yang tidak berhujjah dengan hadits mursal menolaknya karena adanya ‘illat, yaitu hilangnya seorang perawi yang tidak diketahui, boleh jadi perawinya tidak tsiqah.Yang dijadikan patokan suatu periwayatan haruslah dengan tsiqah dan yaqin dan tidak ada hujjah pada hal-hal yang bersifat majhul(tidak diketahui). 

Inilah ‘illat penolakan hadits mursal,dan hal itu adalah ‘illat yang benar. Jadi, penolakannya karena adanya illat tersebut adalah benar, meskipun tidak dapat diterapkan pada (hadits) mursal, karenaseorang perawi yang dibuang adalah sahabat. Meski tidak dikenal darisisi pribadinya tetapi dia dikenal sebagai seorang sahabat, maka dia adalah tsiqah. Secara pasti dan meyakinkan dia tsiqah. Dengan demikian ‘illat yang menjadikan penolakan mereka terhadap hadits mursal tidak bisa diterapkan, dan tidak ada sebab-sebab lain untuk menolaknya. Selama hadits mursal memenuhi syarat-syarat matan,sanad dan perawinya, dan perawi yang dihilangkan dari sanadnya adalah seorang sahabat yang tidak membawa kemudharatan dengan ketiadaannya, dan selama ia adalah seorang sahabat maka ia adalah tsiqah.
 
Hal ini menujukkan bahwa hadits mursal adalah hujjah yang dapat dijadikan sebagai dalil. Kadangkala orang mengatakan bahwa ‘illat nya adalah kemungkinan periwayatan tabi’in dari tabi’in seperti dari seorang sahabat. Gugurnya seorang sahabat tidak berarti gugurnyaseorang perawi, melainkan keterputusan yang boleh j adi menggugurkan dua orang perawi yang terbukti pada salah satu dari keduanya memilikia dalah (sifat adil) dan dia adalah sahabat. Lalu orang yang kedua diragukan dan dia adalah tabi’in. Ada juga suatu hadits yang mungkin terdapat jarh (cacat) atau tidak dlabitsehingga ditolak. Perkataan sepertiini kadang muncul. Jawabannya adalah, bahwa definisi hadits mursal adalah ‘apa yang diriwayatkan oleh tabi’in dari Rasulullah saw tanpa penyebutan sahabat’. Jadi, didalamnya tidak termasuk periwayatan para tabi’in dari tabi’in yang tidak disebutkan (dalam hadits). 

Kendati jika kita membuat penggolongan seperti gambaran tersebut, yaitu kemungkinan gugurnya seorang tabi’in dan tidak dise butkannya seorang sahabat, maka kemungkinan gugurnya itu tergolong kedalam tawahhum (sangkaan). Tawahhum belum sampai pada tingkat ihtimal (kemungkinan). Adanya waham di sana karena terdapat tabi’in yangmeriwayatkan dari tabi’in lainnya yang tidak disebu tkan, dan tidak disebutkan pula sahabat. Artinya diandaikan yang gugur itu adalah seorang tabi’in. Masalahnya tidak ada dalil yang menunjukkan pada pengandaian yang bersifat kira-kira. Itu hanya sekedar tawahhum (sangkaan). Tawahhum itu tidak ada nilainya, dan di atasnya tidak bisa dibangun hukum. Karena itu tidak bisa dikatakan (dalam hadits tersebut) bahwa ia diriwayatkan oleh orang yang majhul (tidak diketahui), karena tidak ada satu periwayatan pun yang disandarkan kepadanya sehingga bisa dikatakan bahwa itu majhul. Jelas bahwa hadits mursal tidak digolongkan sebagai hadits mardud. Hadits mursal merupakan hadits, maqbul yang dapat dijadikan hujjah.

Jadi dari penjelasan Al ‘Allamah Asy Syaikh Taqiyuddin an Nabhani di atas, hadist mursal bisa diamalkan, sehingga berdo’a dengan do’a yang terdapat di hadist adalah sah.

Kemudian yang perlu juga diluruskan adalah, do’a kedua yang lafadz nya berbunyi “DzaHabazh zhuma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah”

Maka itu dibaca setelah berbuka, bukan ketika mau berbuka, karena dari artinya sendiri jelas yakni “Telah hilang rasa haus dan urat – urat telah basah serta pahala telah ditetapkan, insya Allah”

Kesimpulan

Berdo’a untuk berbuka puasa dengan hadist dhaif yakni hadist mursal hukumnya adalah boleh, karena hadist mursal memang layak untuk dijadikan hujjah menurut kesepakatan sebagian ‘ulama. 

Wallahu a’lam.
Samarinda, 29 Sya’ban 1434 H.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersyukur masih bisa bersyukur.

Space

Forget? No. JUST FORGIVE!