Memilih Jalan Pulang



Oleh : Kak Dian Auliya 

Jelang magrib di ujung sebuah gang. Tiba-tiba seseorang terdengar melompat dan mengejar saya dari belakang.

“Kak!” Panggilnya. Saya berbalik. Kaget setengah hidup. Oh! Rupanya perempuan yang tadi saya lihat di trotoar sebelum belok masuk ke gang ini! Asli, saya tak kenal. Atau mungkin saya pernah melihatnya? Entahlah.

“Iya….kenapa?”
“Bisa samaan jalan?”
“Oh…iya..silakan. Mari…”

Lalu, kami berjalan bersisian.

“Kenapa, ada apa?” tanya saya sambil terus melangkah. Insting saya menduga, pasti ada sesuatu.
“Di sini pernah ada kejadian. Rawan!” katanya menunjuk jalan yang tengah kami jejaki.


Lalu dia mulai bercerita. Saya berdebar-debar. Dan….mendengar penggalan ceritanya dengan mimik yang sangat ekspresif dan meyakinkan, mata saya mulai melotot ketakutan sembari histeris menggigil.

“Ada perempuan yang dicegat di sini. Diambil barang-barangnya dan diancam juga akan di bunuh.“
“Haaaaa, masak?”
“Iya, Kak! Dan yang sebelum-sebelumnya juga sudah sering sekali di sini.”
“Terus yang tadi itu, kapan kejadiannya? Baru-baru atau sudah lama?”
“Dua hari yang lalu, Kak! Makanya saya trauma lewat sini. Kalau tidak ada orang saya liat lewat jalan ke sini yang bisa saya temani, saya pilih lewat depan.” Ooww… saya jadi mengerti sekarang, kenapa dia mengejar saya. Rupanya sedang mencari teman jalan.

“Dan di sini biasanya yang paling rawan, Kak.” Katanya begitu kami tiba di sebuah bagian jalan. “Karena bagian jalan yang ini tersembunyi, tidak terlihat oleh jalan di depan sana, juga dari belakang, sehingga tidak terlihat oleh orang-orang. Dan perempuan yang kemarin itu, cuma bisa didengar suaranya minta tolong.”

“Oh!”

Saya menoleh ke belakang, lalu berbalik lurus ke depan. Benar. Titik ini, tepat sebuah belokan singkat, memang seakan tertutupi oleh akses dunia luar. Terhalang oleh tembok-tembok pembatas yang berdiri tinggi di kiri-kanan jalan.

“Untung kita ketemu, Dek. Jadi saya dapat informasi seperti ini.” Ucap saya merasa sangat bersyukur.
“Iya, Kak. Mana tembok tinggi-tinggi begini juga. Biasa Daeng becak dan bentor juga suka tiba-tiba melakukan pelecehan. Mereka ‘menyerang’ tiba-tiba.” Ceritanya lagi. Saya merinding, mengerikan sekali!

Seiring perjalanan, kami berpisah di sebuah pembelokan.

Namun perpisahan itu tak serta merta menghapus ceritanya dari batok kepala saya. Bahkan hingga malam tiba, saya terus memikirkannya. Saya sudah mempertimbangkan, bahwa mulai dari sekarang dan seterusnya, saya tidak akan sok berani menerobos jalan itu. Cukup sudah hari-hari yang lalu saya melaluinya dengan begitu berani dan tak pernah berpikir soal rasa takut, baik di kala sepi maupun saat hujan deras mengguyur. Cukup sudah anggapan saya bahwa jalan itu begitu aman, nyaman dan bersabat untuk di lalui. Jalan yang pendek memang, tapi ternyata menyimpan bahaya yang bisa mematikan.

Di sisi lain, tiba-tiba juga saya merasa ‘menyesal’ telah mendengar cerita itu. Karena nyatanya telah berhasil menimbulkan rasa takut pada diri saya untuk melewatinya kembali. Namun di satu sisi lagi, saya merasa juga harus berterima kasih karena telah diberi tahu, yang dengannya saya bisa mempertimbangkan perjalanan berikutnya.

Besoknya, dalam sebuah perjalanan, tiba-tiba cerita itu menyelinap lagi dalam benak saya. Kali ini, sukses membawa saya pada sebuah filosofi yang lebih dalam.

Bahwa dalam hidup ini, sering kali kita merasa telah menemukan jalan hidup atau aktivitas yang tepat, lalu merasa begitu nyaman melakukannya. Segala rintangan, bahkan tak kita pedulikan, karena kita sudah terlalu nyaman melangkah dan melakukan aktivitas di dalamnya. Ibarat kata, ini adalah jalan yang terbaik satu-satunya menurut kita!

Lalu tiba-tiba, dalam perjalanan, ada orang yang memberi tahu bahwa aktivitas yang kita gemari dan sering kita lakukan selama ini ternyata salah. Dan jika terus dilakukan, Allah mengancam kita dengan neraka yang membara! Karenanya, dia menasehati kita untuk menjauhinya.

Barangkali, mendengarnya, kita merasa acuh tak acuh, atau mungkin marah dan kesal, karena kenyamanan kita selama ini dalam menjalaninya merasa terusik dengan nasehat dan ‘ancaman-ancaman’ dosa.

Atau mungkin juga terjadi pertentangan batin. Diam-diam, ada ketakutan menyelip di batin kita, khawatir atas bahaya yang sudah pasti sewaktu-waktu menimpa kita. Lalu kita pun mulai mempertimbangkan untuk menjauhinya. Atau bisa jadi kita juga merasa menyesal telah mendengar nasehat itu karena akhirnya membuat kita bimbang, antara terus melakukan atau meninggalkan dengan memilih jalan yang lain.

Dan pada akhirnya, keputusan final tetap ada di tangan kita. Ingin memilih jalan yang lain yang lebih selamat atau  tetap pada jalan lama yang terasa nyaman, namun sesungguhnya menyimpan bahaya.

Tugas orang lain hanya menasehati kita. Selebihnya kitalah yang memilih jalan kita. Tugas orang lain hanya memberi tahu bahwa di sana ada bahaya, dan sesungguhnya ada jalan lain yang tak berbahaya. Selanjutnya, kitalah yang menentukan jalan mana yang kita pilih. Dan ibarat hidup di dunia, untuk pulang ke akhirat sana... pilihan perjalanan ada pada kita. Kitalah yang memilih jalan kita…. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersyukur masih bisa bersyukur.

Forget? No. JUST FORGIVE!

Space