Hidup ini singkat, sebentar lagi mati.


Tadi pagi, setelah membaca beberapa lembar buku wajib yang harus saya selesaikan minggu ini, saya mengaktifkan modem. Seperti biasa, kalau sudah terhubung wi-fi, handphone saya berdering tidak karuan karena banyaknya pemberitahuan yang masuk. Di antara notification yang silih berganti di notif bar, ada pesan di grup WA, dari Kak Dio. Isinya: "Innalillahi wa innailahi roojiun........" Karena hanya membaca melalui notif bar, jadi tidak terbaca keseluruhan isi pesan. Saya tidak langsung membuka WA. Saya termenung sesaat... Teringat seorang kakak yang beberapa hari belakangan memang sedang dirawat di rumah sakit, dan menurut kabar kondisinya semakin memburuk dari waktu ke waktu. Saya memang tidak mengenalnya. Tapi, fakta bahwa kami berada pada barisan perjuangan yang sama, tetap saja membuat saya sedih mendengarkan kabarnya. Bahkan, kata mereka yang telah menjenguk, beliau berada dalam kondisi koma hingga tidak bisa menyadari kehadiran orang-orang di sekelilingnya... Ya Allah T_T

Singkat cerita, saya membuka WA. Membaca pesan yang baru masuk. Benar saja, beliau sudah dipanggil Allah. Pagi tadi, di rumah sakit tempatnya dirawat. Saya merasakan dunia di sekeliling saya berhenti. Saya bersedih seakan saya sudah mengenal beliau bertahun-tahun lamanya. Entahlah, mungkin saya merasa kembali dinasihati. Nasihat yang berulang kali, tapi seringkali saya abai. Saya merasa seperti kehilangan seorang saudara. Ah, kakak itu... Katanya, beliau adalah seorang partner dakwah yang militan dan penuh semangat. Semoga Allah melapangkan kuburmu, Kak. Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu. Semoga Allah menyayangimu. Aamiin...

Karena penasaran, tergerak juga hati saya untuk mengenal beliau lebih jauh. Saya buka profil Facebook-nya (ya, namanya banyak tertera di beranda belakangan ini). Yang saya lihat ucapan-ucapan belasungkawa dari teman, keluarga... Lebih lama lagi, ucapan "semoga lekas sembuh"... Dan sampailah saya pada kiriman-kiriman yang beliau buat sendiri. Yang mengagetkan saya, ternyata beliau baru menikah sebulan yang lalu. Sekali lagi, sebulan yang lalu...

Lantas kenapa?

Tidak apa-apa. Saya hanya terpikir tentang betapa banyak orang-orang yang menyiapkan diri dan memantaskan diri sebaik-baiknya hanya karena jodoh. Tujuan tertinggi mereka bukan lagi karena Allah, tetapi karena menginginkan sebaik-baik pria menjadi jodohnya. Aih... saya jadi malu sendiri. Bukankah saya juga sering berbuat demikian? Manusia memang tempatnya salah dan khilaf. Padahal jodoh itu misteri, mati itu pasti. Lalu mengapa kita lebih banyak mempersiapkan sesuatu yang masih menjadi misteri itu? Bukankah kematian lebih 'real' dan lebih mutlak adanya? Wahai diri...

Kullu nafsin dzaaikatul maut...
Setiap yang berjiwa akan merasakan mati...

Tentu saja saya tidak mengatakan bahwa memperbaiki diri demi mendapatkan jodoh yang baik itu tidak perlu, bukan seperti itu. Ini tentang prioritas. Salah satu penyakit hati adalah ketika yang merajai hati bukan lagi Allah, tetapi hamba Allah. Sudah berapa kali kita berniat menghafal al-qur'an agar kelak memperoleh pasangan seorang hafidzul qur'an? Sudah berapa kali kita berniat menunaikan qiyamul lail dengan niat agar kelak memperoleh pasangan yang gemar qiyamul lail pula? Sudah berapa kali niat lillahi ta'ala itu terpinggirkan demi niat karena jodoh? Sudah berapa kali?

Satu yang pasti, kita semua sudah dijodohkan dengan kematian. Ibaratnya, kita semua sedang berada dalam barisan antrian menuju akhirat. Tinggal menunggu, sembari memantaskan diri. Memantaskan diri untuk mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah. Itu saja tugas kita. Karena sejatinya hidup ini singkat, perjuangan ini singkat, sebentar lagi kita akan mati.

27 Januari 2016.
10.06am
Teriring doa untuk kakak yang jauh di sana...
Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa'afiihi wa'fuanhaa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersyukur masih bisa bersyukur.

Space

Forget? No. JUST FORGIVE!