Eksploitasi Batu Bara dalam Pusaran Neoliberalisme, Islam Solusinya
Oleh: Indina Ikhwana
Jusman
Menjelaskan potensi kekayaan batu bara Indonesia
Menjelaskan permasalahan eksploitasi batu bara di Indonesia akibat neoliberalisme
Menjelaskan perspektif Islam terhadap permasalahan eksploitasi batu bara di Indonesia
Tujuan:
Menjelaskan potensi kekayaan batu bara Indonesia
Menjelaskan permasalahan eksploitasi batu bara di Indonesia akibat neoliberalisme
Menjelaskan perspektif Islam terhadap permasalahan eksploitasi batu bara di Indonesia
Batu
Bara dan Potensinya di Indonesia
Batubara
- bahan bakar fosil - adalah sumber energi terpenting untuk pembangkitan
listrik dan berfungsi sebagai bahan bakar pokok untuk produksi baja dan semen.
Namun demikian, batubara juga memiliki karakter negatif yaitu disebut sebagai
sumber energi yang paling banyak menimbulkan polusi akibat tingginya kandungan
karbon. Sumber energi penting lain, seperti gas alam,
memiliki tingkat polusi yang lebih sedikit namun lebih rentan terhadap
fluktuasi harga di pasar dunia. Dengan demikian, semakin banyak industri di
dunia yang mulai mengalihkan fokus energi mereka ke batubara. Dengan tingkat
produksi saat ini (dan apabila cadangan baru tidak ditemukan), cadangan batubara
global diperkirakan habis sekitar 112 tahun ke depan. Cadangan batubara
terbesar ditemukan di Amerika Serikat, Russia, Republik Rakyat Tiongkok (RRT),
dan India. Berdasarkan data dari BP Statistical Review of World Energy 2017, Indonesia menduduki
peringkat kelima sebagai negara produsen batu bara terbesar di dunia.
Indonesia adalah salah
satu produsen dan eksportir batubara terbesar di dunia. Sejak tahun 2005,
ketika melampaui produksi Australia, Indonesia menjadi eksportir terdepan
batubara thermal. Porsi signifikan dari batubara thermal yang diekspor terdiri
dari jenis kualitas menengah (antara 5100 dan 6100 cal/gram) dan jenis kualitas
rendah (di bawah 5100 cal/gram) yang sebagian besar permintaannya berasal dari
Cina dan India. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral Indonesia, cadangan batubara Indonesia diperkirakan
habis kira-kira dalam 83 tahun mendatang apabila tingkat produksi saat ini
diteruskan.
Berkaitan dengan cadangan
batubara global, Indonesia saat ini menempati peringkat ke-9 dengan sekitar 2.2
persen dari total cadangan batubara global terbukti berdasarkan BP Statistical
Review of World Energy. Sekitar 60 persen dari cadangan batubara total
Indonesia terdiri dari batubara kualitas rendah yang lebih murah
(sub-bituminous) yang memiliki kandungan kurang dari 6100 cal/gram.
Ada banyak kantung
cadangan batubara yang kecil terdapat di pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua, namun demikian tiga daerah dengan cadangan batubara
terbesar di Indonesia adalah: Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Timur.
Eksploitasi Batu Bara Mencengkeram
Negeri
Indonesia sebagai negeri
yang memiliki segenap potensi terbaik termasuk kekayaan batu bara, faktanya
belum juga mampu meraih predikat sejahtera. Bahkan, realitas ekonomi dan
kesejahteraan di Indonesia sangat berbanding terbalik dengan berbagai data
potensi kekayaan alam ini. Tentu saja hal ini membuat kita bertanya-tanya, ada
apa di balik pengelolaan kekayaan alam negara utamanya batu bara?
Massifnya penggunaan batu
bara tidak lain karena harganya yang relatif murah dan sumber dayanya yang melimpah.
Sebagai energi fosil, batu bara memiliki kepadatan energi medium; tiap kg batu
bara mampu membangkitkan 3-4 kWh listrik, bergantung pada kualitas batu bara
dan sistem pembangkit listrik. Keberlimpahan cadangan batu bara dan penambangannya
yang relatif mudah membuat energi fosil ini menjadi komoditas menarik.
Sudah menjadi rahasia umum
bahwa tambang batu bara adalah tambang paling kotor dan dampak lingkungannya
paling buruk. Apalagi jika AMDAL tidak diperhatikan oleh pelaku penambangan.
Pada pertengahan April 2019, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan beredarnya sebuah film dokumenter garapan
rumah produksi Watchdoc bertajuk Sexy Killer. Film dokumenter yang
muncul menjelang momen Pilpres 2019 ini telah membuka jutaan mata masyarakat
tentang sisi gelap dari industri penambangan batu bara di negeri ini. Tak hanya
mengungkap buruknya pengelolaan tambang batu bara, film ini juga mengungkap
berbagai realita penderitaan masyarakat sebagai efek domino dari penambangan
batu bara ini, seperti terabaikannya bekas galian tambang yang membahayakan
keselamatan dan kesehatan warga sekitar hingga kriminalisasi warga yang
menuntut keadilan. Namun, godaan sumber daya yang melimpah ruah dan harga yang
murah telah membuat para kapitalis gelap mata. Penambangan terus dilakukan
sekalipun menimbulkan berbagai dampai sosial dan ekonomi di negeri ini.
Sebagaimana yang terjadi
di Samarinda, perburuan batu bara yang telah menarik penambang internasional
telah merusak ibukota provinsi Kalimantan Timur tersebut. Tambang yang mencakup
lebih dari 70 persen wilayah Samarinda, menurut data pemerintah telah memaksa
desa-desa dan sekolah untuk menjauhi longsoran lumpur yang beracun dan
sumber-sumber air yang tercemar. Kerusakan hutan di sekitar kota untuk membuka
jalan bagi tambang juga telah menghancurkan penahan alami melawan banjir,
menimbulkan air bah seringgi pinggang saat musim hujan. Selain itu, meski 200
juta ton batu bara digali dan dikirim dari Kalimantan Timur setiap tahun,
ibukota masih sering mengalami listrik padam selama berjam-jam karena
pembangkit listrik yang sudah tua dan terus bermasalah (voaindonesia.com).
Tak hanya itu, penambangan
batu bara ini juga berdampak pada aktivitas pertanian masyarakat setempat. Padi
yang tumbuh di atas air beracun dan kolam ikan yang tercemar membuat para
petani gigit jari. Upaya jalur hukum yang ditempuh masyarakat dan komunitas
swadaya setempat untuk menuntut pemerintah agar mendesak para pengusaha tambang
batu bara untuk mengentikan pencemaran, pada akhirnya tak membuahkan hasil. Mereka
justru mendapati fakta ironis bahwasanya beberapa pejabat lokal yang menjadi
tempat aduan mereka telah menerima suap dari perusahaan supaya mendapatkan izin
pertambangan. Sogokan ini dibayarkan kepada pejabat lokal bukan hanya untuk
mendapatkan izin pertambangan tetapi juga untuk membantu perusahaan menambang
di daerah yang dilarang dan menghindari kewajiban-kewajiban seperti konsultasi
masyarakat dan melakukan analisa mengenai dampak lingkungan.
Sementara itu, penegakan
hukum pun masih sangat minim. Para aktivis lembaga swadaya tersebut menyatakan
perusahaan-perusahaan tambang batu bara telah mengabaikan kewajiban hukum
mereka untuk mengisi lubang-lubang bekas galian setelah aktivitas mereka
selesai. Dalam kurun 2011 – 2018 ada 32 orang mati tenggelam di bekas lubang
tambang di Kaltim. Secara nasional pada kurun 2014-2018 terdapat 115 orang yang
meninggal (beritagar.id, 9/04/2019).
Bukan hanya berdampak pada
kehidupan sosial-kultural masyarakat, maraknya aktivitas penambangan batu bara yang
minim kontrol ini telah menjadi rahim lahirnya para mafia listrik yang
mendukung proses privatisasi dan swastanisasi tambang. Presiden Jokowi, sewaktu
blusukan ke Minahasa Sulawesi Utara 27 Desember 2016 menyebut broker (mafia)
listrik yang menyebabkan harga listrik Indonesia lebih mahal daripada negara
lainnya. Bahkan menurut anggota Komisi Energi DPR RI Ramson Siahaian, biaya
produksi listrik Indonesia adalah termahal di dunia. Secara garis besar, mafia
listrik bermain di tiga area: (1) Sektor Produksi (pembangkit); (2) Sektor
Distribusi (transmisi dan instalasi); (3) Sektor Konsumsi (pajak, token dan
subsidi). Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng
menyebut mafia listrik, yang berada di sekeliling penguasa, emamndang listrik
sebagai ladang mengeruk harta. Mereka adalah pembuat kebijakan kelistrikan
(legislator pembuat UU No. 30 Tahun 2009 tentang kelistrikan). Mereka adalah
pelaksana proyek (kontrakotor pembangunan pembangkit, gardu dan jaringan
transmisi). Mereka juga sekaligus penggua proyek (operator 67 PLTA/U/PB
Swasta). Mereka bisa diesbut sebagai mafia “Trias Ekonomika Elektrika.” Menurut
Daeng, amat mudah mengendus jejak mafia. Saat harga minyak, batu bara dan gas
dunia, yang merupakan bahan bakar utama pembangkit PLN turun sekitar 70% dalam
dua tahun terakhir, harga listrik di Indoensia justru merkoet hingga 146%.
Mafia listrik ini tak hanya berkutat di PLN, namun juga merambah ke pengelolaan
listrik swasta. Salah satu perwujudan mafia listrik swasta tampak pada kontrak
atau Interim Agreement (IA) PLN dengan Paiton Swasta I (Paiton Energy). Menurut
IA in, PLN pada wal proses pembangunan harus membayar fixed monthly charges sebesar
US$ 70 juta, atau senilai Rp 930 miliat pada kurs Rp13.000/US$1. Pada
pertengahan, PLN harus membayar US$ 115 juta atau senilai Rp 1,5 triliun dengan
kurs serupa.
Salah Kelola Batu Bara
dalam Bingkai Kapitalisme
Sesungguhnya, privatisasi
dan eskploitasi berbagai sumber daya alam dan energi di Indonesia merupakan
sebuah hal yang wajar dalam negara yang ruhnya adalah kapitalisme ini.
Eksploitasi batu bara hanyalah satu dari sekian banyak efek domino dari program
privatisasi yang merupakan pesanan IMF (International Monetary Fund).
Hal ini tertuang dalam Letter of Inten yang ditandatangani tanggal 31 Oktober
1997 pada butir 41. Isinya menyatakan bahwa Pemerintah RI berjanji untuk
memprivatisasi Sektor Pelayanan Publik yang secara otomatis akan mewujudkan
ekploitasi membabi-buta di sektor hulu. Setelah itu dibuat skenario untuk
meloloskan pesanan IMF tersebut melalui Kementerian Pertambangan dan Energi
yang menerbitkan “Buku Putih” pada Tahun 1998. Isinya adalah roadmap liberalisasi
ketenagalistrikan melalui tahapan Unbundling, Profitisasi dan Privatisasi.
Jadi, dengan kata lain, negeri ini sejak dahulu kala memang telah menyerahkan
pengurusan sektor publiknya kepada pihak asing demi keuntungan mereka sendiri.
Adapun keberadaan pemerintah hanyalah sebagai wasit atau regulator saja.
Pertanyaannya, bagaimana
mungkin negara kita tak bisa berbuat apa-apa? Permasalahannya terletak pada
oligarki alias sekelompok orang yang berkepentingan dalam pengelolaan batu bara
ini. Apalagi, politik transaksional yang merupakan karakter khas pemerintah
kapitalis-sekuler telah membuka peluang terjadinya ‘perselingkuhan’ antara
penguasa dan pengusaha. Bahkan, tidak hanya itu, para petinggi negara, pejabat
pemerintahan tingkat atas, banyak di antara mereka yang merangkap sebagai
pengusaha batu bara. Mereka ditengarai memanfaatkan pengaruh di pemerintahan
untuk terus memuluskan usaha penambangan batu bara dan pembakarannya di PLTU,
dengan dalih sebagai pemenuhan listrik negara.
Di daerah-daerah,
ketidakberdayaan para penguasa setempat terhadap pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh pengusaha batu bara tidak bisa dilepaskan dari politik balas
budi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses demokrasi merupakan proses yang
mahal yang membutuhkan modal besar dalam proses naik tahta. Salah satu sumber
modal terbesar tak lain adalah sponsor dari pengusaha termasuk pengusaha batu
bara. Sebagai kompensasinya, kepala daerah tersebut harus memuluskan proyek
penambangan batu bara di daerah tersebut karena mereka terikat kewajiban
membalas budi atas ikatan kepentingan.
Perspektif
Islam terhadap Eksploitasi Batu Bara di Indonesia
Telah
jelas bahwa eksploitasi batu bara adalah salah satu bentuk permasalahan
kedaulatan sumber daya alam dan energi di negeri ini. Kondisi SDA Indonesia
yang sedang terjajah merupakan sebuah fakta yang terang benderang. Kondisi ini
muncul akibat cengkeraman mabda kapitalisme yang dalam hal ini berwujud
neoliberalisme sebagai thariqah penyebaran dan pertahanannya. Karenanya,
perlawanan terhadap permasalahan eksploitasi SDA ini ini menuntut adanya upaya
perlawanan terhadap mabda kapitalisme ini. Tentu saja mabda yang tepat untuk memobilisasi
perlawanan ini hanyalah mabda Islam.
Islam hadir tentu tidak
hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem
kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam
pengelolaan kekayaan alam. Allah SWT berfirman: “Kami telah menurunkan kepada
kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk,
rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (TQS an-Nahl
[16]: 89).
Menurut
aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan
umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan
rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan
kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.
Di
antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada
sabda Rasulullah saw.:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum
Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api
(HR Ibnu Majah).
Terkait
kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan
Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta
kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw.
lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang
sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada
dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu
al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari
dia.” (HR at-Tirmidzi).
Mau
al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir
terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang
kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasullah saw.
memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan
tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian
Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup
besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—maka beliau mencabut kembali
pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut
dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadis ini,
semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing.
Tentu
yang menjadi fokus dalam hadis tersebut bukan “garam”, melainkan
tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip
ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang
tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda
yang tidak pernah habis, seperti mataair dan air bor, maka beliau mencabut
kembali pemberian beliau. Ini karena sunnah Rasulullah saw. dalam masalah
padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah
tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang
lain terhalang.”
Alhasil,
menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar
baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi,
tembaga, timah, minyak bumi, gas dsb semuanya adalah tambang yang terkategori
milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.
Karena
itulah Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip
Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang
oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air,
belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak
boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum
Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”
Allah
SWT telah menjadikan ketaatan terhadap apa saja yang diputuskan oleh Rasulullah
saw. sebagai bukti keimanan seseorang: “Demi Tuhanmu (wahai Muhammad), pada
hakikatnya mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau Muhammad
sebagai hakim dalam semua perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian
mereka tidak merasa berat di hati mereka terhadap apa yang telah engkau putuskan,
dan mereka menerima keputusan itu dengan ketundukan sepenuhnya” (TQS
an-Nisa [4]: 65).
Alhasil,
untuk mengakhiri kisruh eksploitasi batu bara ini kita wajib kembali kepada
aturan Islam. Selama pengelolaan sumber daya alam masih berputar dalam pusaran
mabda kapitalisme, segala kekayaan tersebut tak akan berdampak signifikan
terhadap kesejahteraan hidup rakyat. Terlebih, harta kekayaan yang tak dikelola
berdasarkan aturan Allah SWT tak akan bermanfaat sedikitpun dan pastinya akan
kehilangan berkahnya. Maka, marilah kita bersegera menerapkan semua perintah
Allah dan rasulNya yakni ketentuan syariah tentang pengelolaan sumber daya alam
termasuk batu bara. Ketentuan syariah tersebut diterapkan dalam negara yang
menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, yakni Khilafah. Tanpa peran
Khilafah, keadilan dan kedaulatan pengelolaan SDA hanyalah ilusi belaka. Wallahu
a’lam bish shawab.
Referensi:
Abdullah, Husain
Muhammad. 2011. Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam. Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah.
Buletin Kaffah_No.
046_07 Dzulqa’dah 1439 H-20 Juli 2018 M, Islam Mengatur Pengelolaan Sumber Daya
Alam
Dwijayanto, Andika
Putra. 2019. Islam: Alternatif Sistem Energi Ramah lingkungan dan Peradaban.
Photon Publishing.
Tsaqafia, September
2017.
Komentar
Posting Komentar