Inilah Iman!



Apakah Anda termasuk salah satu orang yang takjub dengan meluapnya peserta aksi damai 212 kemarin?

Ya, saya pun demikian. Konon katanya aksi damai tersebut dihadiri hingga 7,4 juta orang kaum muslim yang berdatangan dari berbagai daerah. Jumlah yang jauh lebih besar dibanding aksi 411 sebelumnya. Malah saya sempat berpikir peserta aksi damai 212 tidak akan lebih banyak daripada peserta aksi 411, sebab begitu banyak tekanan dan ancaman dari beberapa pihak sehingga kaum muslim sulit untuk mencari celah. Tapi, Allahu Akbar… Allah Maha Besar, Maha Kuasa. Apa yang terjadi sungguh di luar prediksi.

Cobaan bertubi-tubi yang menimpa kaum muslim sebelum aksi tersebut dilakukan, nyatanya tak menyurutkan niat suci mereka untuk menuntut keadilan hukum atas si penista agama. Bahkan ghirah perjuangan itu semakin berkobar-kobar, menyala-nyala. Hambatan demi hambatan yang bermunculan ternyata semakin melejitkan semangat mereka untuk membuktikan bahwa kaum muslim masih ada, masih ada untuk membela agama mereka. Menuntut ditegakkannya hukum atas penista agama. Allahu Akbar…

Bahkan kaum muslim yang tak sempat ikut aksi pun tak ketinggalan untuk turut berkontribusi. Apapun yang bisa disedekahkan demi kelancaran aksi ini, disedekahkan! Bantuan sekecil apapun yang bisa sedikit meringankan ‘beban’ peserta aksi, diberikan! Maka tak heran, di mana-mana kita menyaksikan sekelompok orang-orang yang mengeluarkan hartanya untuk kelancaran aksi damai ini. Ada yang menyumbang sandal jepit bagi peserta yang berjalan kaki sejauh ratusan kilometer, jas hujan, makanan dan minuman yang bertumpuk-tumpuk, jasa pijat gratis, dan sebagainya. Maka benarlah, aksi damai 212 ini memang dibayar! Dibayar oleh orang-orang yang ikhlas, yang sadar bahwa jiwa dan harta mereka adalah milik Allah. Hehe.




Fitnah Itu: Masih, dan Akan Terus Ada

Di sisi lain, sudah menjadi hal yang wajar kalau kita mendengar tudingan keji dari para pembenci kaum muslim terkait dengan aksi damai ini. Jangankan pada hari H aksi tersebut dilakukan, jauh hari sebelum aksi saja mereka sudah menampakkan kebencian mereka pada umat ini. Fitnahan yang paling sadis, ya apa lagi kalau bukan fitnahannya si kafir penista agama itu. Massa aksi dibayar 500 ribu, katanya. Halooo, Pak? Nabilang orang Makassar, sampoi mulut ta’… :p

Tudingan-tudingan senada juga banyak kita dengarkan dari beberapa tokoh lainnya. Aksi damai umat muslim dituduh ditunggangi aktor politik lah, dituduh ada makar lah, dituduh membawa kepentingan capres gagal lah. Banyak lah fitnahan-fitnahan mereka itu. Kita umat muslim memang sudah diajarkan bahwa menjelang akhir zaman, fitnah dajjal akan mencuat di mana-mana. Hahaha, bercanda. 

Tak Paham Iman

Saya melihat bahwa fitnahan-fitnahan orang kafir itu selain disebabkan karena keinginan mereka untuk mendiskreditkan umat Islam, juga disebabkan karena satu hal lain: mereka tak paham iman. 

Tak logis bagi mereka, jutaan orang berkumpul dalam satu waktu, meninggalkan aktivitas-aktivitas mereka yang lain, demi menyuarakan satu hal yang sama: membela agama. 

Tak masuk akal bagi mereka, ratusan orang rela menempuh perjalanan ratusan kilometer dengan berjalan kaki demi menuntut keadilan atas seseorang yang menistakan kitab suci mereka.

Mustahil bagi mereka, jutaan orang rela menghabiskan harta mereka demi suatu aktivitas yang—secara kasat mata—tak menguntungkan apapun, tak mengenyangkan, tak pula menambah saldo rekening, katanya untuk membela agama.

Sangat tidak mungkin bagi mereka, jutaan orang sebegitu meledak amarahnya ketika kitab suci mereka dihinakan, agama mereka dinistakan, dan ulama-ulama mereka difitnah.

Tidak mungkin! Mustahil! Tidak masuk akal! Pikir mereka, apa lagi yang mendorong mereka melakukan hal demikian kalau bukan karena dorongan UANG?

Sihir macam apakah yang bisa menggerakkan langkah jutaan orang sedemikian rupa kalau bukan karena dorongan UANG?

Tokoh macam apakah yang bisa menggerakkan massa sedemikian banyaknya, kalau bukan tokoh yang ber-UANG?

Ya, mereka berpikir bahwa watak seluruh manusia itu sama: akan bergerak jika ada dorongan materi. “Berikan sesuatu yang bisa mengenyangkan perut atau memuaskan hawa nafsu, maka saya akan melakukan apapun yang Anda inginkan,” serendah itu. Maka, camkan ini baik-baik: kaum muslim tidak sehina itu! Kaum muslim memiliki apa yang tidak kalian miliki: IMAN. Keimanan mereka kepada Allah. Rasa cinta mereka yang membuncah pada Rasulullah Saw. Itu yang menggerakkan mereka!

Terkait hal ini, saya jadi teringat pada salah satu sahabat yang begitu termahsyur namanya karena kisah heroiknya, Bilal bin Rabah. Salaam ‘alaik yaa Bilal… Bagaimana tidak, keteguhan Bilal untuk terus memeluk Islam sampai membuat majikannya, Umayyah bin Khalaf, kelabakan. Pasalnya, bukan sekedar sehari-dua hari Umayyah menghabiskan waktu untuk menyiksa Bilal demi menarik kembali Bilal ke ritual penyembahan berhala. Tapi berhari-hari, hingga Umayyah nyaris saja putus asa untuk mendapatkan pengakuan atas Latta dan Uzza dari mulut Bilal. 

Pernah suatu hari, ketika Umayyah baru saja pula tiba dari rumahnya dari tempat penyiksaan Bilal, Umayyah ditanya oleh salah satu temannya, “Bagaimana keadaannya (Bilal) hari ini?”

Lantas Umayyah menjawab, kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kurang lebih dia mengatakan, “Keadaannya siapa nih yang lo maksud? Keadaannya si Bilal atau keadaan gue? Soalnya kok rasanya gue yang hampir mati.”

“Lah kok gitu?”

“Ya iyalah. Gue sampe kelabakan tau ngeladenin si Bilal. Gila aja, gue cambuk dia berkali-kali, tapi dia tetap tidak bergeming! Dia tetep aja menyebut-nyebut nama Tuhannya itu! Gue curiga jangan-jangan daging dan kulitnya Bilal itu bukan daging dan kulit manusia biasa! Masa dicambuk berkali-kali kagak merasa sakit?! Gue yakin nih, ini pasti gara-gara SIHIRNYA MUHAMMAD!!!” tegas si Umayyah songong.

Bukan hanya Umayyah bin Khalaf yang merasa heran dengan ­sikap ­keukeuh-to-the-max-nya Bilal. Rasa heran luar biasa juga menghampiri hati Wahsyi, rekannya Bilal sesama budak.

Suatu ketika, Wahsyi berusaha membujuk Bilal, “Ayolah, Bilal. Lo ambil jalan tengah aja. Lo sebutin aja apa yang mau mereka dengar, sebutkan kalimat kutukan untuk Muhammad, pujilah Latta dan Uzza. Toh, di dalam hati lo, lo akan tetap beriman kan? Gak akan ada seorang pun yang tau apa yang ada di dalam hati lo.”

“Gak akan, Wahsyi. Gak akan! Gak ada yang namanya jalan tengah antara kebenaran dan keburukan kecuali keburukan itu sendiri. Kalo gue melakukan itu, maka semua orang bakalan berpikir kalo gue bener-bener mengatakan hal itu. Gue gak sudi!”

“Lo ini kesambet sihir apa sih, Bilal? Sampe ngotot begitu. Kemaren-kemaren pas lo masih kafir juga, lo disiksa beberapa menit aja udah keok. Nah ini, udah disiksa berhari-hari, masih aja keras kepala. Heran gue!”

“Inilah Islam, Wahsyi! INILAH IMAN! Lo kagak ngerti juga?”


Sihir Itu Bernama Iman

Inilah yang tidak dipahami oleh orang kafir itu: bahwa bagi seorang muslim, ada kekuatan besar di dalam diri yang akan menggerakkan raga mereka untuk melakukan hal tertentu, bahkan hal tersebut kerap kali tidak masuk akal bagi orang-orang yang tidak memahaminya. Kekuatan itu bernama iman.

Lebih jauh lagi, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya, Nizhomul Islam, bahwa kebangkitan manusia itu tergantung dari pemikirannya. Dari pemikiran inilah kemudian akan lahir seperangkat aturan yang akan menjadi pegangan manusia dalam hidupnya. Bagi seorang muslim, pemikiran yang cemerlang akan mengantarkan mereka pada keimanan yang kokoh; ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya yang tidak akan pernah terbeli oleh harta duniawi manapun.

Sederet peristiwa besar yang terjadi di penghujung tahun ini, cukuplah menjadi bukti bahwa kaum muslim hari ini masih bisa disatukan. Berbekal iman di hati mereka, kaum muslim menyatu dalam satu azzam, menunjukkan cinta mereka pada Allah dan RasulNya. Sungguh, ini adalah berita gembira. Sungguh, Allah telah menunjukkan sinyal kebangkitan umat Islam.

Tentu kita semua berharap, kobaran semangat kaum muslim tidak berhenti sampai di sini. Tidak cukup hanya membela satu ayat dari Al-Qur’an. Namun semangat #BelaQuran itu harus terwujud dalam perjuangan mengembalikan Al-Quran sebagai landasan hidup, sebagai sandaran dalam setiap aspek kehidupan. Kita seharusnya tidak hanya marah ketika ayat Qur’an itu dihinakan, namun marahlah ketika ayat Qur’an itu tidak diterapkan dalam kehidupan. Gejolak iman di dalam dada tentu akan terusik jika perintah Allah tak dilaksanakan sepenuhnya. 

Maka, songsonglah kemenangan itu. Songsonglah kemenangan Islam, yaa ayyuhal muslimin! Kita pasti akan bersatu lagi. Suatu saat nanti, ketika Al-Qur’an tak lagi hanya sekedar pajangan. Ketika Al-Qur’an tak lagi hanya bersemayam dalam sanubari individu-individu. Ketika kelak Al-Qur’an kembali menjadi pedoman hidup kita sebagai sebenar-benarnya pedoman. Ketika kelak Al-Qur’an kembali menjadi satu-satunya sumber hukum kita sebagai setinggi-tingginya sumber hukum. Ketika kelak kita bersatu dalam naungan daulah Khilafah Islamiyah. Insyaa Allah…

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS An-Nur[24]: 55).

 ***
4 Desember 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersyukur masih bisa bersyukur.

Forget? No. JUST FORGIVE!

Space