Tentang Cinta: Belajarlah dari Ali bin Abi Thalib!


Sumber gambar: impfashion.com
Kalau kau kesulitan menerjemahkan cinta kepada Rasullulah saw., maka belajarlah dari seorang Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.

Ketika itu, para kaum Quraisy berdatangan menuju rumah Rasulullah saw dan berniat untuk membunuhnya sebelum beliau berhasil keluar dari Makkah. Mereka berdiri persis di depan pintu Rasulullah saw. dengan pedang tajam yang terhunus. Mereka berjaga-jaga di sana, menanti hingga Rasulullah keluar dari tempatnya.

Rasulullah saw berkata kepada Ali, yang saat itu ada bersamanya di dalam rumah:
"Wahai Ali, tidurlah di tempat tidurku, dan selimutilah seluruh tubuhmu hingga tidak satupun dari bagian tubuhmu yang kelihatan dengan selimut asal Hadhrami ini. Kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan sesuatu dari mereka yang tidak kamu sukai."

Ali benar-benar melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah. Ia berbaring di tempat tidur Rasulullah dan menyelimuti dirinya, sehingga ketika salah seorang di antara kaum kafir itu mengintip dari lubang pintu, ia mengira Rasulullah saw masih tidur di tempatnya.

***

Begitulah, Ali bin Abi Thalib telah mengajarkan kita tentang pengorbanan.
Tentang kesetiaan.
Tentang ketaatan...

Ia rela melakukan sesuatu yang mengancam jiwanya demi ketaatanNya pada Allah dan Rasulullah tercinta. Dia tidak berdalih semisal, "Tapi aku takut mereka akan membunuhku karena mengira aku adalah dirimu," TIDAK. Ali benar-benar melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah tanpa keraguan sedikitpun. Kenyataan bahwa ia berada dalam resiko besar, yakni akan dibunuh tidak menggentarkan dirinya untuk menaati Rasulullah.

Lalu,
bagaimana dengan kita?

Tak usahlah dulu berbicara tentang pengorbanan nyawa. Bahkan untuk merelakan kesenangan sesaat saja, kita seringkali ragu. Kesenangan duniawi, harta, dan keridhoan manusia lebih menjanjikan bagi kita daripada ridho Allah dan Rasul-Nya yang tak bisa kita indera.

Bahkan untuk perkara-perkara kecil saja, semisal menyegerakan berhijab, meninggalkan pacaran, kita berpikir jutaan kali untuk melakukannya. Decak kagum dari manusia dan kesenangan semu ternyata telah membutakan kita dari cinta yang sesungguhnya. Apalagi, jika berbicara dakwah, yang notabene menyita waktu, harta, pikiran, mengusik kepentingan-kepentingan kita, dan--terkadang-mengancam jiwa.

Di mana cintamu kepada Rasul-mu, wahai diri yang fakir...?
Di mana cintamu kepada orang yang telah mengorbankan apapun yang ia miliki demi keselamatanmu dunia akhirat...?
Di mana cintamu kepada orang yang, bahkan di akhir hidupnya masih mengingat dan mengkhawatirkan dirimu...?
"Ummati... Ummati... Ummati..."

Di mana cintamu?

Semoga Allah dan Rasul-Nya masih berada di tahta tertinggi di hati kita. Sami'na, wa atho'na...

"Yaa muqollibal quluub, tsabbit qulbii 'alaa diinik..."(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersyukur masih bisa bersyukur.

Forget? No. JUST FORGIVE!

Space