CERDAS TAPI DUNGU--Melihat Fenomena Kekeringan Spritual Masyarakat Jepang

Beberapa waktu lalu di tahun 2005. Ustadz Muhammad Ismail Yusanto diundang untuk berdakwah ke negeri Jepang, khususnya di kota Tsukuba, Tokyo dan Ciba oleh komunitas muslim Indonesia disana. Negeri yang dikenal sebagai kampiun teknologi di dunia ini ternyata menyimpan sejumlah "kedunguan spritual". Simak pemaparannya sebagai berikut ini. 

Luar biasa! Kata pendek itulah yang mungkin paling tepat untuk menggambarkan kemajuan teknologi Jepang.  Pada saat ini di sana, baru saja diumumkan kepada publik temuan mutakhir berupa robot resepsionis.  Ini generasi robot terbaru yang bisa bertindak bagai resepsionis beneran.  Ia bisa menjawab telepon, menyalurkannya ke nomor ekstensi yang dituju, menanyaka keperluan tamu bahkan bisa juga tunduk menghormat bila ada tamu datang persis seperti yag dilakuka oleh orang-orang Jepang.  Pendek kata, hampir tak ada bedanya antara resepsionis manusia dengan robot itu baik dari segi kemampuan maupun postur tubuhnya. Tidak jelas, apakah robot resepsionis itu bisa diajak guyon, marah atau berkelahi.

Robot jenis lain yang lebih sederhana dengan aneka kemampuan sudah banyak beredar lebih dahulu di pasaran.  Tampaknya robot di Jepang telah menjadi ”warga baru” dan menjadi bagian dari rumah tangga orang Jepang.  Penduduk bisa mendapatkannya dengan mudah asal punya duit.  Diantaranya, yang banyak dijual di supermarket adalah robot penyapu lantai.  Bentuknya seperti cakram dengan diameter 30 cm.  Robot ini bekerja menyapu lantai dengan cara bergerak berputar-putar sambil mengisap kotoran yang ada.  Uniknya, robot ini juga dilengkapi sensor sehingga tidak menabrak-nabrak dinding, kursi atau apapun.  Sebelum bersentuhan dengan benda di depannya, seakan punya mata, robot ini sudah menghindar atau bergerak mudur.  Bagaimana kalau ia menyapu lantai atas? Jangan khawatir ia akan tergelicir.  Dengan sensor tadi, ia tampak benar seperti punya mata untuk melihat bahwa didepanya ada tangga.  Begitu tepi cakram melewati bibir tangga, robot ini sontak berheti, seolah berpikir sejenak, ia lantas memutar balik.

Yang paling spektakuler adalah kloset cerdas.  Ini cerita tentang kloset elektronik sebab bisa yang cukup banyak dipakai oleh orang kaya di sana.  Bentuk luarnya tidak banyak berbeda dengan kloset duduk yang ada di sini.  Bedanya, banyak tombol di sana sini, yang semuanya ditulis dengan huruf kanji khas Jepang sehingga tidak mudah buat orang yang tidak mengenal huruf kanji untuk membacanya.  Ternyata tombol-tombol itu untuk mengatur seluruh fungsi yang dimiliki kloset cerdas ini.  Kalau Anda merasa kedinginan duduk di kloset itu, tekanlah tombol penghangat.  Sesaat kemudian, kloset itu akan terasa hangat untuk diduduki.  Mau analisis BAB? Tekan saja tombol, maka tak berapa lama akan keluar analisis kandungan tinja.  Mau cebok? Tersedia dua pilihan: untuk lelaki dan wanita.  Setelah dicoba keduanya, ternyata lebih enak model cebok wanita. “Lebih total dan komprehensif”
Demikianlah kemajuan teknologi yang dicapai oleh Jepang.  Itu baru di bidang teknologi robotik.  Belum lagi di bidang elektronika (kamera, televisi, perkakas elektronik dan sebagainya), teknologi bahan, infrastruktur, transportasi dan sebaginya.  Semuanya tampak sangat menonjol. Di bidang trasportasi, dengan sistim komputerisasi, Jepang berhasil mengatur seluruh perjalanan kereta api dengan ketepatan yang luar biasa.  Bila di jadwal disebut kereta bakal datang 11.57, maka persis di menit itu, kereta benar datang.  Padahal kereta bersilang-silangan ruwet.  Di sebuah stasiun saja, jalur kereta bertumpuk empat. Dua di bawah tanah dan dua di atas.

Tapi di tengah kemajuan temuan dan rancang bangun teknologi yang luar biasa, masyarakat Jepang sesungguhnya tengah mengidap kekeringan spiritual, yang membuat mereka tampak seperti orang dungu.  Fenomena ini terlihat jelas misalnya di kuil Sinjuku yang merupakan kuil terbesar dan tertua di pusat kota Tokyo.  Ke sanalah, orang-orang Jepang kerap datang untuk meluapkan dahaga spiritualnya.

Cuma caranya aneh.  Percaya atau tidak, orang Jepang yang di bidang teknologi terlihat sangat rasional, ketika sudah sampai persoalan spiritual menjadi tidak rasional.  Diantaranya, dikuil itu mereka paling tidak seminggu sekali membeli kertas ramalan seharga 300 yen (Rp 300.000-an) tentang nasib mereka seminggu ini.  Kertas itu lantas dimasukkan ke dalam tungku yang dibakar dengan dupa.  Mereka sangat percaya pada yang terbaca di situ.  Dan, itu menjadi pegangan selama seminggu kehidupan mereka.  Setelah itu, mereka melanjutkan ritualnya dengan menyembah patung Budha berwarna kuning mengkilat tidak jauh dari tempat penjualan kertas ramalan.  Sebelum menyembah, mereka mengelus-elus kepala dan paha patung Budha itu. Karuan saja, dielus-elus tiap hari oleh ratusan bahkan ribuan  orang, kepala dan paha patung itu tentu menjadi lebih mengkilat.  Terakhir, mereka melempar uang logam ke dalam tempat yang sudah disediakan di bawah patung.  Setelah agak banyak, tempat itu membuka secara otomatis dan tumpukan uang itu meluncur ke bawah.  Jadi, rupanya tempat itu memang didesain untuk menampung uang ”jamaah”.  Yang lucu, setelah uang menumpuk, sebelum membuka, seorang gelandangan yang kelihatannya agak setengah gila, yang selalu menunggu di dekat patung, sudah lebih dulu mengambil uang itu.  Jadi siapa sebenarnya yang waras?

Dahaga sekaligus kedunguan spiritual memang tengah melanda masyarakat Jepang.  Semua itu bukan hanya tampak di kuil yang tadi diceritakan, tapi di seluruh wilayah Jepang.  Indikasinya sangat jelas.  Kini di Jepang ada lebih dari 18.000 sekte keagamaan.  Di antaranya yang paling terkenal sekte Aum Sinrikyo yang dipimpin Otto Asahara.  Sungguh aneh, sekte yang sangat tidak bermutu ini karena diantaranya mengajarkan penyerahan semua harta para pengikut dan dipimpin oleh seorang bekas tukang asongan yang gagal berbisnis, ternyata laku keras.

Kenyataan ini semestinya menyadarkan siapa saja bahwa pembangunan yang tidak berdasarkan nilai-nilai transendental, mungkin saja memberikan keberhasilan material yang luar biasa seperti yang terlihat di Jepang.  Tapi di sisi lain, semua itu ternyata justru memurukkan mereka ke lembah penderitaan.  Bukan penderitaan fisik, tapi spiritual yang membuat mereka menjadi kehilangan arah dalam meniti kehidupan yang fana ini.
(Di kutip dari buku: Be The Best not :be asa" Karya M. Karebet Widjajakusuma) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersyukur masih bisa bersyukur.

Space

Forget? No. JUST FORGIVE!